Monday, November 21, 2011

Surat-surat Karang teruntuk "Ibu"

"Ibu, dulu aku pernah bertanya sendiri dalam gelap... Apa beda sebutir air bening di ujung daun dengan sebutir debu di dinding kusam? Dulu, tiada yang bisa memberi jawab. Tidak ada. Hari ini aku menemukan sendiri jawabannya. Apa bedanya? Tidak ada. Sama sekali tidak ada bedanya.... Keduanya sama-sama keniscayaan kekuasaan-Nya. Keduanya sama-sama mensucikan, meski hakikat dan fisiknya jelas berbeda."

"Ibu, dulu aku pernah sendiri bertanya dalam sesak.... Apa bedanya tahu dan tidak tahu? Apa bedanya kenal dan tidak kenal? Apa bedanya ada dan tiada? Apa bedanya sekarang dengan kemarin, satu jam lalu, satu menit lalu, satu detik lalu? Dulu, tiada yang bisa memberi jawab. Hari ini aku juga tetap tidak tahu begit banyak potongan pertanyaan. Tapi tak mengapa. Setidaknya tetap bisa melihat, mendengar, dan terus berpikir. Ada banyak yang tidak lagi. Tepatnya membutakan diri. Menulikan kepala. Atau membebalkan hati."

"Ibu, sudah lama sekali aku tidak merasakan kekuatan it.... Tadi pagi kekuatan itu kembali. embali begitu saja setelah bertahun-tahun pergi dengan segala kesedihan. Begitu menghentak, begitu mengejutkan, membasahi seluruh tubuh, merasuk dalam segenap aliran darah. Aku bisa merasakannya lagi. Bisa berpikir, merasakan persis seperti anak yang kutemui. Kekuatan itu kembali, Ibu...."

"Ibu, saay menatap wajah anak itu, seperti ada sejuta voltase listrik yang menyentrum mata. Seperti ada seribu jarum akupuntur yang menusuk badan. Benar-benar membuat sesak. Seandainya kau ada di sini untuk tahu dan melihat sendiri perasaan seperti itu. Saat au menyentuh jemarinya, seluruh perasaan itu buncah memenuhi kepala. Saat aku menyentuh kulitnya seluruh tubuh merinding oleh perasaan gentar. Ibu, kekuatan itu akhirnya kembali...."

"Ibu, rasa nyaman selalu membuat orang-orang sulit berubah. Celakanya, kami sering kali tidak tahu kami sudah terjebak oleh perasaan nyaman itu. Padahal di luar sana, di tengah hujan deras, petir, guntur, janji kehidupan yang lebih baik boleh jadi sedang menanti. Kami justru tetap bertahan di pondok reot dengan atap rumbia yang tampias di mana-mana, merasa nyaman, selalu mencari alasan untuk berkata tidak atas perubahan, selalu berkata "tidak"


"Ibu, rasa takut juga selalu membuat orang-orang sulit berubah. Celakanya, kami sering kali tidak tahu kalau hampir semua yang kami takuti hanyalah sesuatu yang bahkan tidak pernah terjadi. Kami hanya gentar oleh sesuatu yang boleh jadi ada, boleh jadi tidak. Hanya mereka-reka, lantas menguntai ketakutan itu, bahkan kami tega menciptakan sendiri rasa takut itu, menjadikannya tameng untung tidak mau berubah."

"Ibu, semua urusan ini sedikit pun belum terlihat ujung terangnya. Kalimat itu benar sekali, jika ingin menyembuhkan bisul, pecahkan saja sekalian! Sakit memang. Tapi cepat atau lambat bisul itu juga tetap akan pecah. Banyak sekali orang-orang yang takut melakukannya. Berpikir terlalu panjang, berhitung terlalu rumit! Padahal setelah bisulnya pecah, malah berseru lega. Benar-benar omong-kosong menyedihkan manusia yang setiap hari justru sombong atas kehebatan otaknya!

"Ibu, bagi musafir setelah melalui perjalanan jauh melelahkan, penuh sakit, sendiri, dan sesak, sebuah pemberhentian kecil selalu menjadi oase sejuk pelepas dahaga. Setelah keseharian yang penat, rutinitas yang menjemukan, sebuah kabar gembira kecil selalu menjadi selingan yang menyenangkan. Juga setelah semua penderitaan, semua rasa putus asa melewati lorong panjang nan gelap, sebuah titik cahaya, sekecil apapun nyalanya, selalu menjadi kabar baik. Janji-janji perubahan."

"Padahal, itu selalu terjadi pada kami. Pemberhentian kecil. Kabar gembira. Titik cahaya. Setiap hari kami menemuinya. Masalahnya kami selalu lalai mengenalinya, ecuali iitu benar-benar sebuah kejadian yang luar biasa. Atau jangan-jangan kami terlalu bebal untuk menyadarinya, mengetahui pernak-pernik kehidupan selalu dipenuhi oleh janji perubahan.

"Ibu, kami jga lalai untuk mengerti, terkadang setelah pemberhentian kecil menyenangkan itu, justru jalanan menikung, penuh jurang dan onak telah siap menunggu. Terkadang setelah selingan yang menyenangkan itu, beban dan rutinitas menjemukan semakin menyebalkan. Terkadang setelah titik cahaya itu, gelap gulita sempurna siap mengungkung... membuat semuanya semakin terasa sesak, sakit, dan penuh putus asa.


"Tapi tak mengapa, Ibu.... Setidaknya hari ini, pagi ini, biarlah kami bergembira atas kabar baik ini. Bergembira sebentar. Gadis kecil itu sudah bisa menggunakan tangannya. Makan dengan sendok. Andai saja kau ada di sini untuk melihatnya... Andai saja kau juga dulu ada untuk melihat putra-mu berhasil melepaskan diri dari kehidupan jalanan itu."

*diambil dari novel "Moga Bunda Disayang Allah" karya Tere-Liye

Wednesday, November 9, 2011

Mencoba melihat sesuatu dengan lebih menyenangkan

Bismillaah,
kondisi akhir-akhir ini yang pancaroba membuat diri ini berpikir,
"Kenapa kondisi psikologis saya ikut-ikutan pancaroba???" haha...

Dalam waktu dekat yang sudah lalu, banyak sekali hal yang saya alami dan rasakan.
Namun, sayangnya hal-hal tersebut lama-lama berasa tidak berkesan dan tak termemorikan. Saya sendiri bingung kenapa hal itu bisa terjadi, padahal peristiwa-peristiwa itu bukan hal yang 'sekedar sesuatu', tapi (kalau boleh saya bilang) 'sesuatu banget'...

Sepertinya ada yang hilang dalam keseharian, ada desiran halus dalam hati yang menghalangiku meraih hikam tak ternilai dari setiap hal yang teralami. Tak terpungkiri, rasa sombong meski ukurannya secuil kerikil, bisa berefek pada diri luar biasa... Sehingga saya tidak bisa menikmati hal-hal yang dikaruniakan-Nya dengan sebenar-benarnya menikmati dan mensyukuri.

Ada cerita menarik tentang sebuah kesombongan dari buku yang saya baca,
jadi begini ceritanya:

Dua orang lelaki yang datang bertamu ke rumah seorang Bijak tertegun keheranan. Mereka melihat si orang bijak sedang mengepel lantai rumahnya. Keringatnya terus menetes dari sela-sela rambutnya. Menyaksikan keganjilan ini salah seorang lelaki ini bertanya, "Apakah yang sedang engkau lakukan, hai orang Bijak?"

Sang Bijak menjawab, "saya sedang membersihkan bekas kaki tamu yang tadi datang ke sini"

"Bukankah kamu bisa menyuruh orang yang bekerja di rumahmu untuk membersihkannya?" Tanya lelaki kedua heran.

Yang ditanya hanya tersenyum memandangi kedua orang tamunya, "Kalian boleh menunggu saya, sementara saya menyelesaikan pekerjaan ini"

Tak lama kemudian, sang bijak pun menemui kedua orang tamunya. Salah seorang lelaki yang masih penasaran kembali bertanya: "Apakah maksud engkau bersusah payah membereskan semuanya sedangkan kau bisa saja meminta tolong pembantumu?"

"Tadi saya kedatangan serombongan tamu yang meminta nasehat. Saya memberikan banyak nasehat yang sangat bermanfaat bagi mereka. Mereka tampak puas dan bahagia mendengar semua nasehat yang diberikan. Namun, sesudah mereka puulang tiba-tiba saya merasa menjadi orang yang hebat. Kesombongan di hati mulai bermunculan. Karena itu saya melakukan pekerjaan ini untuk membunuh perasaan sombong itu."

Ya begitulah, setan memang pintar dan dengan solidernya bahu membahu menggoda manusia untuk melakukan hal-hal yang disenanginya (-nya refers to setan). Dan kita harus jangan kalah pintar dan solider juga dalam mensinkronkan jasad dan ruh kita untuk 'nggak manut-manut' sama setan, dalam setiap hal-hal yang kita lakukan sehari-hari. Salah satunya dengan membunuh (wih sadis) rasa sombong itu setiap ada desiran-desran halus terasa di hati, dengan cara yang mungkin teman-teman bisa terinspirasi dari cerita di atas.

Setelah kita bisa mengatasi hal itu, biasanya kita jadi bisa melihat setiap peristiwa yang kita lalui dengan perspektif yang menyenangkan, tanpa ada beban yang tidak perlu di hati kita... :) percaya gak? Silakan buktikan, kalau gak percaya... :)

saur Allah oge dina kalamullah: "Dan janganlah kamu memalingkan wajah dari manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri." [QS 31 (Luqman): 18]

Ah, hidup memang menyenangkan, saat sadar dan tak terlena di dalamnya.