Saturday, January 26, 2013

Masa

suatu saat kita tenggelam... lalu pingsan...
 

dalam masa tak sadarkan diri itu kita begitu menikmati mimpi yang hadir,
kesuksesan, kegemilangan, kebanggaan, dan lain-lain.
sayangnya itu cuman mimpi,
karena saat kita bangun (!) semuanya hilang, yang ada, kita masih tetap tenggelam.

kita bebas memilih, akan kembali ke peraduan kita dengan mimpi (karena kita anggap realitas begitu buruk) lalu mati, atau bangkit lalu berenang ke permukaan lalu hidup.

saat kita memilih yang kedua, dan saat kita telah sampai di permukaan, ternyata kita sadar bahwa kaki kita terantai, ada banyak saudara kita yang ternyata merasakan hal yang sama. pingsan dan bermimpi.

untuk bisa selamat, maka kita harus menyadarkan saudara-saudara kita yang masih lelap, membangunkannya, dan memberi tahu kenyataannya, bahwa kalian sedang tenggelam! ayo naik bersama!

terkadang kita pun kehilangan kesabaran saat mencoba berusaha membangunkan mereka karena mereka banyak yang tak sadar bahwa mereka sedang bermimpi, atau lebih baik bermimpi daripada bertemu kenyataan yang begitu pahit.

di sanalah kesabaran berperan penting, yakinlah, kita tidak sendiri. banyak kok orang lain yang juga sadar. maka dari itu, salinglah menguatkan satu sama lain, agar bisa sama-sama selamat.

oke, dan ini dinukil dari surat al ashr (:


bismillaah... selamat pagi~

Atas adalah status FB saya pagi ini. Ya, tadi saya nonton video bagus tentang intisari sederhana QS. Al Ashr. Bagus banget. Renyah dan mudah dimengerti. Memang begitulah seharusnya (: Sebenarnya status itu merupakan tamparan bagi saya sendiri, akhir-akhir ini saya sering gabut tidak jelas karena atmosfer liburan yang terlalu panjang. Namun, bagaimana caranya membuat hal tersebut menjadi sebuah peluang bagi saya untuk mempersiapkan masa-masa selanjutnya dengan lebih baik. Banyak baca, bayar janji, brainstorming, nyicil skripsi, nulis-nulis, dan lain hal sebagainya, ternyata bisa dilakukan. Sangat bisa.

Ya, terakhir deh, untuk nambah tamparan lagi, lagu favorit pisan lah tentang waktu. Semoga nampol (:


MASA (Rabbani)

Masa ibarat nyawa bagi manusia
Mestilah diurus dengan bijaksana
Hargailah masa dengan sebaiknya
Supaya tidak rugi

Renunglah masa yang telah berlalu
Ia tak akan boleh datang kembali
Ambillah iktibar untuk diteladani
Agar terbentuk peribadi yang murni

Isilah masa jangan dipersiakan
Rancanglah dengan teliti dan berkesan
Ilmu dicari luaskan pengalaman
Ibadah dilupa Jangan

Perjalanan masa tak menunggu kita
Semakin lama usia bertambah tua
Bertuah kita jika dapat mencapai
Umur dan amalan seiring usia

Masa muda jangan ikut perasaan
Masa tua biasanya serba tak senang
Datang bermacam sakit yang tak diundang
Mulakan ibadat dari sekarang
Hidup dibina berlandaskan kebenaran
Semoga pulang dengan hati yang tenang

Masa di dunia hanyalah sementara
Masa di akhirat kekal selamanya
Marilah tunaikan kewajiban kita
Pada Yang Maha Esa

Masa tidak akan merugikan kita
Bila diatur dengan penuh sempurna
Seperti yang dituntut oleh agama
Hidup pasti kan sejahtera selamanya

Friday, January 18, 2013

Terima Kasihku Kepada Orang yang Telah Berani Menghadapi Ketakutan Terbesar Manusia

Bismillaah...

Sudah beberapa kali saya mengalami hal itu, kehilangan seseorang yang penting dalam hidup (menurut saya). Dan perasaan yang timbul relatif senada. Paling ingat, saat Kakek saya, Aki Musthafa rahimahullaah berpulang. Itu pengalaman 'kehilangan' saya yang pertama saat saya sudah bisa sedikitnya mengerti apa itu kematian. Berbeda halnya saat si Ongkiw (kucing yang suka mampir ke rumah) 'meninggal' juga karena terlindas truk. Perasaanku saat itu biasa saja (maklum, 4 tahun). Saat itu, bulan Syawwal. Satu atau dua hari setelah hari raya. Perasaan bercampur aduk, bingung, sedih, aneh sekali rasanya (waktu itu saya berumur 6 tahun kalau tidak salah). Beliau sungguh merupakan orang yang luar biasa, bagi saya yang baru mengerti enaknya didongengi, enaknya disuapi mie rebus, enaknya mendapat pengasuhan yang tanpa pamrih; penuh kasih sayang. Mungkin saya sudah lupa apa saja yang pernah engkau tanamkan pada diri ini, tapi sungguh, diriku yang sekarang adalah akumulasi dari benih-benih kebaikan yang tertanam melalui banyak orang, salah satunya adalah dari dirimu.

Beliau tidak dirawat di RS, beliau dengan tenang berada di kamar legendarisnya, hingga izrail menjemput. Saya masih sempat cium tangan sebelum akhirnya beliau berpindah dimensi (itu juga karena disuruh ibu). Ah, memori yang luar biasa. Pertama kalinya saya merasakan atmosfer duka sedalam itu.

Selanjutnya nyusul orang-orang seperti Wa Dedi, Eni Onah, yang terdekat Wa Cucu... berbagai perasaan yang sebenarnya relatif sama muncul. Saat berkunjung ke RS Dharmais, menjenguk wa Dedi yang sakit kanker... Ikut menjemput Eni dan Uwa ke RSUD Cianjur, mengikuti iring-iringan ambulans. Pengalaman talkin pertama kalinya untuk uwa di ruang ICU. Momen-momen itu merupakan momen yang memang membuat hati tergetar. Dzikrul Mawt (inget mati) mulai terbersit optimal dalam benak. Sampai pada akhirnya, saya ikut sholat jenazah dan nganter ke pemakaman yang epic banget, TPU Landbouw, Cipanas, Cianjur. Letaknya persis di samping Taman Makam Pahlawan Cipanas. Maka dari itu, jalan yang memungkinkan akses kami menuju ke sana dinamakan Jalan Pahlawan (baru ngeh).

Yang paling berkesan adalah saat di TKP. Sebelum menguburkan mayit, saya mendengarkan (sebut saja) khotbah kematian yang sama dari orang yang sama pula. Beliau adalah Ust Ade Syatibi. Namun sialnya saya tidak mengi'tibari-nya dengan baik, hingga hari ini. Kira-kira pesanya seperti ini:


"kematian itu bukanlah sebuah hal yang luar biasa... karena kematian itu keniscayaan... sama halnya seperti rezeki... atau kelahiran... kita semua akan mendapatkan dia hadir..."

Dahsyat sekali... namun sayang, sering sekali terlupakan, karena sibuknya bergumul dengan urusan keduniaan (yang mudah2an diniatkan ibadah juga), bahkan sibuk dengan ma'siyat yang disengaja maupun tidak.. oh man... haruskah ada orang terdekat yang meninggal dulu baru kembali teringat dahsyatya efek mengingat kematian?? Saya rasa TIDAK, meskipun pada kenyataannya sering ingkar atas pernyataan rasa itu.

Dan baru-baru ini, dapat kabar duka lagi... Saat UAS kemarin, ayahnya kawan sekelasku (Sri/Ceuceu), meninggal dunia, dan saya tidak sempat ta'ziyah ke sana. Beberapa bulan sebelumnya, ayah dari dua teman SMA (Pitri dan Herdina) pun meninggal... Dan beberapa jam sebelum tulisan ini mulai ada, salah satu kawan baik saya, Bilqisti Qiyamul Haq, pun menemui takdirnya. Belum lagi bencana alam yang memenuhi ruang pemberitaan di mana-mana. Di Jakarta, Banten, bahkan Cianjur... Subhanallaah... 

Wahai diri, lihatlah mereka yang telah mendahuluimu. Sungguh, mereka telah menghadapi suatu hal yang sangat ditakutkan sebagian besar manusia. 

Dan kau masih ingkar pada dirimu sendiri? Sejauh mana engkau mengingat dan mempersiapkan kematian terindahmu?

Haruskah ada yang tiada dulu baru engkau menemukan kembali rasa yang hilang itu?
Kalau ya, seharusnya engkau berterima kasih kepada mereka. Dan sungguh kau telah berhutang besar pada orang-orang yang telah mendahuluimu itu. Ilmu itu mahal. Sadar itu mahal, sangat.

Masih adakah hutang yang belum terbayarkan? Masih adakah kebohongan atau hal yang harus diakui kepada orang lain? Masih adakah hal-hal yang sangat mungkin menghalangimu untuk menjemput ampunan Tuhanmu? Hal muamalah, hal yang berkaitan dengan manusia.

Sungguh, Tuhanmu maha luas samudera ampunannya, 
tinggal, apakah kamu mau berusaha menyelaminya?

Pelajaran yang sangat berharga... terima kasih Bilqi, ayahnya Ceuceu, ayah Pitri, ayah Dina, Wa Cucu, Eni, Wa Dedi, Aki Mus, dan semuanya yang telah mendahuluiku... sungguh, pelajaran ini sangat mahal! Seharga nyawamu semua...

Semoga Allah subhanahu wata'ala, yang Rahman, yang Rahim,,,
berkenan memberikan rahmat-Nya yang luar biasa 
dalam kuburmu semua,
dalam mahsyar-Nya nanti,
dalam hisab-Nya nanti,
dalam jembatan shiraat-Nya nanti,
hingga kita, insyaAllah,
reuni di tempat terbaik yang telah dipersiapkan,
atas rahmat-Nya, atas Kasih Sayang-Nya...

insyaAllah, kami pun (pasti) menyusul...
Semoga, kita tidak termasuk orang yang sering menunda,
dalam merangkum pelajaran berharga dari kematian orang-orang terdekat kita,
dalam titik nol kesadaran kita...

Ya, setiap jiwa yang hidup, pasti merasakan mati.

Tulisan ini didedikasikan untuk para pendahulu kami...
atas semangat, senyuman, nasehat, kenangan, dan pelajaran yang tak pernah padam,
hanya saja, kami(nya) saja yang sering (pura-pura) tidak melihatnya.

Wednesday, January 16, 2013

Sedikitnya (ada) Kenangan di Hari Ahad Tanggal 13

Bismillaah,

saat ke walimahan, (hampir) selalu mendapat kesempatan untuk 'merusuh'.
Terakhir adalah saat di walimatul'ursy adik angkatan saya, Zahra Maulida. Di sana saya (selain makan cukup banyak) menemukan hiburan yang menurut saya keren banget. Bagaimana tidak... melalui mereka, saya dapet satu lagu yang mungkin akan jadi soundtrack saya kalau memang nanti sudah ditakdirkan berkeluarga, haha.

D'Masiv - Natural

Ku suka kamu apa adanya
Senatural mungkin aku lebih suka
Ku suka kamu begini saja
Bukan karena ada apa-apanya dari yang kau punya

Aku hidup di dunia ingin tenang baik-baik saja
Bersamamu aku bisa melewati itu

Bukan aku yang mencarimu
Bukan kamu yang mencari aku
Cinta yang mempertemukan
Dua hati yang berbeda ini

Ya, saya akui lagu ini memang agak alay, haha. Namun ada hikmah yang saya temukan dan petik melalui lirik yang ada, dengan filter-filter yang sudah tertanam dalam mindset diri, haha.

Bahwa sesuatu yang 'tidak diada-adakan' itu lebih baik daripada 'mengada-ngadakan' sesuatu.
Sesuatu yang proporsional itu lebih baik daripada sesuatu hal yang berlebihan, apalagi diadakan karena manusia lain :) termasuk dalam masalah yang kayak begitu. Dan satu lagi: bahwa yang namanya jodoh mah sudah barangtentu tidak akan kemana-mana, karena sudah ditetapkan. Ikhtiyar kita akan menjadi alur cerita yang indah dalam pencarian itu, namun pada dasarnya rahmat Ilahi-lah yang mempertemukan dua hati itu #eeaaaa

Well, jadilah saya merusuh bersama kawan saya, menyanyi dengan suara seadanya, sekedar menghibur dan memberikan kenangan sedikit bagi mempelai :D gokekkon omedetou, zahra-san! Barakallaahu lakuma wa baraka 'alaykuma wa jama'a baynakuma fiy khayr.

Commence: Last Mission (?)

Bismillaah.

Sangat tidak terasa, lembar novel kehidupan di kampus sudah memasuki bagian-bagian akhir. Dan aku masih di sini.

Segala bentuk resolusi ataupun peta hidup sudah dituliskan, namun miskin penerapan. Kasihan ya. Padahal manusia tidak hanya bisa merencanakan. Manusia juga bisa mengusahakan. Sayangnya, manusia seringkali membatasi usahanya, seperti halnya seseorang yang menahan diri dengan alasan yang tak jelas untuk menyampaikan gagasan briliannya di hadapan orang banyak yang (sungguh) sedang menunggu sebuah ide segar.

Sejarah 'itu' akhirnya tak tercipta pada waktu yang telah direncanakan. Baiklah, itu adalah qadar dari Tuhan. Namun manusia seringkali lupa untuk (meskipun) sejenak bercermin dari qadar itu. Sejauh mana kehendak bagian itu dimanfaatkan dengan baik dan benar. Ternyata sejauh mata memandang pun tidak.

Namun memang tak terelakkan dan tak ternafikan, manusia itu berubah. Sadar akan kebodohannya, manusia bisa berubah, terus berusaha untuk menjadi insan yang setidaknya setitik lebih memositif lagi.  Nah lho, itu dia mau berusaha?

Ternyata, usaha itu bermotif. Tanpa motif, usaha itu akan berjalan tanpa ruh.

Jika diibaratkan sebuah karya ilmiah, motif itu terletak pada Latar Belakang pada bab pertama. Segala hal yang melatarbelakangi seseorang melakukan suatu usaha; cinta, nafsu, tuntutan, ketakutan, dsb., akan menjadi power yang akan meng-overwhelming semua partikel yang ada di dalam raga dan sukma. Latar belakang itu akan melahirkan beberapa breakdown permasalahan yang akan membuat usaha seseorang menjadi lebih mengerucut pada hal-hal yang dirasa sangat penting saja. Itulah keterbatasan seorang manusia, namun pada itu pulalah letak kekuatannya.

Saat semuanya sudah jelas, motif itu akan berkembang menjadi VISI. Sebuah tujuan jangka panjang yang tersusun dari titik-titik checkpoint jangka pendek. Satu hal yang menjadi ruh yang sesungguhnya bagi sebuah usaha. Kesadaran akan pandangan seseorang yang sampai pada akhir perjalanannya, akan sangat menentukan metode, pendekatan, dan teknik yang akan ditempuh dalam mengarungi sebuah usaha

Ternyata bagi manusia itu semua tidak cukup. Karena pada dasarnya manusia penuh keterbatasan, selain dia juga biasanya tak pernah merasa cukup. Karena saat hidup tanpa tahu alasan mengapa dia ada, takkan ada penyelesaian saat dia mempertanyakan eksistensinya pada dirinya sendiri, tanpa iman dalam hati.

Bersyukurlah, bagi yang masih memiliki iman, apalagi melengkapinya dengan taqwa. Karena itu, keikhlasan bisa lahir, sebagai cahaya terang, membuat segala partikel yang sudah hidup dengan ruh tadi, lebih hidup, semakin bermakna.

Pintu akhir checkpoint itu sudah mulai samar terlihat, namun...
semakin mendekatinya, semakin dekat dengan awal yang baru.

Aku tak tahu itu, tapi aku akan melewatinya. Mau ataupun sebaliknya.

Rabbuna yusahhil.

Thursday, January 3, 2013

Apresiasi Puisi (Ya, Ini Tugas Kuliah)

APRESIASI PUISI KANASHIMI KARYA TANIKAWA SHUNTAROU

TENTANG TANIKAWA SHUNTAROU
Tanikawa Shuntarou adalah seorang pujangga Jepang yang produktif menulis puisi. Lahir pada tanggal 15 Desember 1931 di Tokyo. Selain aktif menulis puisi, beliau juga aktif menjadi penerjemah. Beliau pernah beberapa kali menjadi kandidat peraih hadiah Nobel kategori sastra, dan beberapa karyanya telah diterjemahkan dalam bahasa Inggris.

PUISI
Puisi yang akan coba penulis apresiasi adalah puisi Tanikawa Shuntarou yang berjudul ‘kanashimi’ (kesedihan). Puisi ini terdapat pada kumpulan puisinya yang pertama, 二十億光年の孤独 (Dua Milyar Tahun Cahaya dalam Kesepian). Menurut wawancara Leith Morton (ahli kesusastraan Jepang di Australia) dengan Tanikawa Shuntarou pada tahun 1997, Shuntarou mengakui bahwa puisi ini merupakan refleksi darinya sendiri.

かなしみ
谷川俊太郎
あの青い空の波の音が聞こえるあたりに
何かとんでもないおとし物を
僕はしてきてしまったらしい

透明な過去の駅で
遺失物係の前に立ったら
僕は余計に悲しくなってしまった
Kesedihan
Tanikawa Shuntarou
Di manakah ku bisa mendengar suara ombak dalam langit biru itu
Sepertinya aku telah kehilangan sesuatu
Sesuatu yang penting

Di stasiun dalam masa lalu yang bening
Saat aku berdiri di depan tempat barang-barang yang hilang
Aku bersedih akan hal yang tak penting

STRUKTUR FISIK PUISI
n  Diksi (pilihan kata):
Bait pertama: pemilihan kata-kata yang paradoks (ombak dan langit biru) dan kata-kata yang menunjukkan rasa kehilangan yang dalam.
Bait kedua: pengumpamaan stasiun sebagai penguat kesan ‘singgah dalam perenungan’ dan penggambaran masa lalu yang sangat jelas terbayangkan dalam beningnya memori. Ada juga kesan kesadaran dalam pilihan kata yang ‘menidakpentingkan’ kesedihan yang dialaminya.
n  Imaji
Penggunaan kata-kata yang digambarkan atas bayangan konkret apa yang biasa dihayati manusia secara langsung melalui penginderaan. (suara ombak, langit biru, stasiun) 
n  Kata konkret
Untuk melukiskan dan menumbuhkan imajinasi dalam daya bayang pembaca, penyair menkonkretkan kata-kata seperti: “suara ombak dalam langit biru”, “di stasiun dalam masa lalu yang bening”
n  Majas
Penyair menggunakan perumpamaan-perumpamaan yang berhubungan dengan alam dan kehidupan sehari-hari. ‘suara ombak’ melambangkan kehangatan dalam keluarga dan ‘langit biru’ melambangkan keluarga itu sendiri. Kedua hal tersebut sangatlah jauh namun bisa juga dianggap dekat karena jika kita lihat di pantai, langit dan laut bertemu. Stasiun dan tempat barang-barang yang hilang diibaratkan sebuah kontemplasi di mana aku lirik mengingat kembali memori-memorinya yang lalu.
n  Rima
Puisi tersebut menggunakan rima yang tidak beraturan, sesuai dengan kecenderungan puisi modern yang sudah tidak terlalu memperhitungkan kaidah-kaidah puisi lama.
n  Tipografi
Menggunakan tipografi konvensional. Dua bait terpisah dalam satu spasi yang menunjukkan gagasan yang berbeda namun saling berkaitan.

STRUKTUR BATIN PUISI
n  Tema
Tema yang diusung dalam puisi tersebut adalah kesedihan yang mendalam akan hal yang dirasakan penyair terhadap kehidupan yang dijalaninya.
Bait pertama: menggambarkan latar belakang kesedihan
Bait kedua: menggambarkan penyikapan atas kesedihan itu
n  Nada
Dalam puisi ini, kesan meratap itu ada. Ada kesan pencarian sesuatu hal yang memang pada kenyataannya tidak dimilikinya.
n  Perasaan
Perasaan penyair dalam puisi tersebut terlihat gelisah, dan bermuara pada kesedihan.
n  Amanat
Hidup itu harus tetap berjalan, apapun keadaan yang dihadapi. Besar kecilnya masalah tergantung dari bagaimana kita memandang masalah tersebut.

APRESIASI
Shuntarou adalah anak tunggal. Dia tidak mempunyai saudara kandung, yang menyebabkan dia tidak pernah mengalami pertengkaran dengan saudaranya. Saat Shuntarou beranjak dewasa, dia mulai merasakan kehilangan akan hal-hal tersebut. Kesedihan adalah hasil dari kehilangan. Puisi tersebut merupakan bentuk ekspresi dari keadaan Tanikawa pada waktu itu.
あの青い空の波の音が聞こえるあたりに
Di manakah ku bisa mendengar suara ombak dalam langit biru itu
Larik tersebut menunjukkan bahwa ‘aku lirik’ berusaha mencari ‘suara ombak’ dalam ‘langit biru’. Suara ombak dapat menunjukkan ‘kehangatan’ atau ‘kehidupan/dinamika’ sedangkan ‘langit biru’ dapat menunjukkan tempat yang dekat namun ternyata sangat jauh (antara diksi ombak dan langit), yakni keluarga.
何かとんでもないおとし物を
sepertinya aku telah kehilangan sesuatu
            Larik di atas menunjukkan bahwa pencariannya nihil. ‘Aku lirik’ merasa kehilangan sesuatu, yang masih ada kaitan dengan larik sebelumnya. Larik tersebut memperkuat larik sebelumnya.
僕はしてきてしまったらしい
sesuatu yang penting
            Larik ini pun kembali memperkuat dua larik sebelumnya, bahkan menutup bait pertama. Dalam larik ini Tanikawa kembali mempertegas bahwa hal yang dia cari itu tidak dapat ditemukan, dan hal yang tak bisa ditemukan itu merupakan sesuatu yang penting, sesuatu hal yang akan berpengaruh terhadap kehidupannya.
透明な過去の駅で
Di stasiun dalam masa lalu yang bening
            Kita memasuki bait kedua. Stasiun merupakan sebuah tempat persinggahan, menuju tujuan-tujuan selanjutnya. Di dalam stasiun, kita dapat pergi ke manapun sesuka hati, selama jalurnya tersedia. Stasiun yang dimaksudkan ‘aku lirik’ terdapat dalam angan masa lalunya yang bening, yang transparan, yang langsung menghadap kenangan-kenangan masa lalu dalam keluarganya, hingga jelas terlihat. Aku lirik seakan singgah dulu di masa lalu. Sedikit mengenang. Sebelum melangkah ke tujuan hidupnya yang selanjutnya.
遺失物係の前に立ったら
saat aku berdiri di depan tempat barang-barang yang hilang
            Di dalam stasiun, khususnya di Jepang, jika pengunjung kehilangan barangnya, petugas keamanan stasiun akan menyimpannya di tempat barang-barang yang hilang. ‘Aku lirik’ berdiri di depan tempa tersebut. Mungkin ‘aku lirik’ hendak mencari, barangkali hal yang membuat dia kehilangan itu ada di sana. Menguak kembali cerita masa lalu, berkontemplasi, hanya untuk mencoba mencari hal yang hilang dari hidupnya.
僕は余計に悲しくなってしまった
aku bersedih akan hal yang tak penting
            Ternyata kehilangan itu membuat kesedihan muncul. Aku lirik memproklamirkan kesedihannya di bagian akhir bait kedua. Namun, setelah dia lama mencari dan mencari. Entah pencariannya berbuah hasil atau nihil, akhirnya dia tersadar bahwa dia terlalu membesar-besarkan sebuah masalah. Manusia mempunyai masalah tertentu, besar dan kecilnya masalah tergantung dari cara penyikapannya sendiri. Namun keadaan dan situasi tentu saja akan sangat mempengaruhi cara dia bersikap atas masalahnya. Keadaan aku lirik sebelum dia menemukan ‘ketidakpentingan’ adalah kemelankolisan. Merasa ada yang ‘aku tidak punyai’ saat melihat keadaan orang lain. Namun, setelah proses pendewasaan ada seiring dengan proses pencarian, sikap akhir itu akan timbul, tergantung dari keadaan ruhani dari sang aku lirik. Dan larik tersebut menggambarkan bahwa aku lirik sudah menyadari bahwa kesedihannya sungguh tidak penting. Dia masih bisa hidup dengan keadaannya, untuk masa depan.

SIMPULAN
            Puisi ini merupakan bentuk ekspresi dari Tanikawa Shuntarou atas kehidupannya. Setelah beliau berusaha mencari hal-hal yang membuat dia merasa kehilangan, yakni kehangatan keluarga, sampai-sampai beliau harus membuka kembali ‘romantika masa lalu’ terlalu dalam hanya untuk mencari hal itu, ternyata pada akhirnya dia menyadari bahwa dia mencari dan menyedihkan hal yang tidak penting. Walaupun beliau mempunyai keadaan yang berbeda dengan orang-orang di sekitarnya, seiring dengan berjalannya waktu kedewasaan, akhirnya beliau bisa menemukan kedewasaannya untuk menyikapi hal-hal yang ada di hadapan,  bahkan di belakangnya. Penulis menyimpulkan bahwa melalui puisi ini, ada amanat penting yang ingin disampaikan, yaitu ‘hidup itu perlu dihadapi’. Sebagaimanapun kehidupan kita di masa lalu, jangan terlalu lama melihat ke belakang. Bersyukur dengan apa yang kita punya saat ini akan membuat kehidupan lebih manis dari yang sekedar terlihat oleh mata atau yang dirasa-rasa oleh perasaan belaka.

DAFTAR REFERENSI