Muhammad Dzikri
Saya lahir di Cianjur pada masa tahun 90-an, masa-masa kejayaan orde baru.
Namun saya belum tahu apa-apa
tentang itu semua pada saat itu, termasuk pada tahun 1998, saya tidak mengerti
mengapa mahasiswa menaiki gedung besar berwarna hijau di Jakarta, tempat yang
saya kira penuh kesenangan. Pada waktu itu saya masih kelas 2 dan pada saat itu
pula saya berpikir, bahwa mahasiswa hanyalah orang-orang yang kerjanya
demonstrasi di jalan.
Pada waktu saya masuk SMA, barulah
saya menyadari ternyata mahasiswa itu kerjanya hampir sama dengan saya pada
waktu itu. Belajar. Namun lebih terfokus pada apa yang diminatinya, meskipun
pada kenyataannya sekarang saya banyak melihat teman-temanku yang stress karena
menganggap telah salah mengambil keputusan untuk kuliah di program studi yang
diambilnya sekarang. Impian saya sejak saat masuk SMA hingga saat ini adalah
menjadi seorang advertiser dan desainer grafis, dan saya pun merupakan orang
yang anti terhadap matematika dan ilmu pasti semacamnya. Atas dasar itulah saya
masuk jurusan bahasa, karena pada waktu itu saya senang terhadap pelajaran
bahasa jepang dan jerman, dan saya pikir, dengan bobot pelajaran yang tak terlalu berat, hobiku dalam desain
grafis akan bisa berjalan beriringan. Cukup itu. Dan hari-hariku semakin
berwarna karena saya pikir saya sudah menemukan passion saya pada waktu itu.
Saat saya berencana menempuh
pendidikan di jenjang yang ‘lebih tinggi’, saya kembali bertanya, apakah memang benar minatku dalam bahasa?
Karena saya pun mulai menyenangi bidang yang berkaitan dengan humanisme,
seperti psikologi, ilmu komunikasi, dan antropologi. Namun karena pada saat itu
saya masih bisa dikatakan remaja labil, jadi saya coba banyak tes. Prioritas
utamaku tetap mengejar impianku; lulus tes USM ITB dan masuk FSRD ITB jurusan
Desain Komunikasi Visual. Namun itu kandas, karena saya merasa gagal dalam tes
menggambar manual. Saya pun mulai putus asa, karena usaha-usaha saya untuk
masuk PTN, seperti PMDK UPI (Pendidikan Bahasa Jepang) dan SIMAK UI (Ilmu
Komunikasi dan Sastra Jepang), tidak membuahkan hasil. Setelah itu saya
berpikir, bahwa aset terbesarku pada saat itu untuk masuk PTN adalah kemampuan
berbahasa Jepangku. Jadi saya putuskan untuk mengikuti SNMPTN. Saya mengambil
IPC karena saya masih penasaran dengan potensi masuk Fakultas Psikologi Unpad.
Namun, pilihan itu pun tidak terealisasi, dan Tuhan menakdirkan saya untuk
menimba ilmu di Sastra Jepang Unpad. Saya pikir ini adalah sebuah takdir,
bahkan mungkin sebuah batu loncatan. Pada waktu itu pun saya bertekad untuk menyelesaikan
studi dengan secepat mungkin yang saya bisa, dan saya melanjutkan studi ke
Jepang.
Terlepas dari semua ke-random-an
peristiwa yang terjadi dahulu, cita-cita saya tetap coba saya teguhkan untuk
tetap menjadi advertiser dan desainer grafis, meskipun pendidikan yang saya
tempuh sekarang mungkin tidak nyambung. Namun harapan saya, ada hal baru atau
hal yang mungkin saya tak tahu melalui prodi yang sedang saya tempuh, yang
dapat memberikan sebuah kontribusi yang nyata bagi sekeliling saya. Belajar di Sastra
Jepang berarti belajar kebudayaan mereka. Saya banyak belajar
kebudayaan-kebudayaan Jepang yang positif, yang bisa saya terapkan di kehidupan
saya sehari-hari di Indonesia, yang saat ini terkenal dengan tidak disiplin.
Harapan besar saya melalui kuliah di Sastra Jepang hingga wisuda nanti, kelak
akan membuat sebuah paradoks baru di kehidupan masyarakat di Indonesia, yang
dimulai dari saya pribadi, selain kemampuan berbahasanya yang pasti akan saya
butuhkan kelak. Karena itulah selain belajar di bangku kuliah, saya banyak
belajar melalui organisasi yang saya ikuti, sebagai rasa syukur saya; masih
bisa kuliah. Dan saya pun mencoba untuk mendapatkan beasiswa KSE sebagai bukti
bahwa saya adalah orang yang tidak mau merepotkan orang lain terlalu banyak, apalagi
kepada dua orang yang saya kasihi sepanjang usia, disamping untuk memberikan
lebih banyak input lagi bagi diri saya yang masih harus banyak belajar.
***