Friday, April 9, 2010

Gundah Gulana 'Diriku yang Lain'


Akhir-akhir ini, suasana hatiku sering mengacau. Kekacauan ini sebenarnya pernah saya rasakan sebelumnya. Di saat-saat saya mengenakan kemeja putih dan celana panjang abu-abu setahun dua tahun kemarin. Pada masa-masa itu, aku mengemban amanah yang tidak jauh berbeda dari amanah yang sekarang sedang kujalani. Sering kuberpikir, mengapa aku menerima amanah itu, apakah aku tidak memikirkannya dengan sematamg mungkin, dan sebagainya. Padahal waktu akan menerima amanah tersebut, tentunya aku berfikir terlebih dahulu, sematang mungkin yang kumampu saat itu. Namun, pikiran sebelum dan sesudah memang sering berbeda, ya. Jujur, di sela-sela waktu pada masa ku sedang mengemban suatu amanah, terkadang – bahkan sering, ku mengeluh akan hal yang sebenarnya itu adalah pilihanku sendiri. Dan kusadari kini, keluhan-keluhan itulah sebenarnya yang membuat suasana hatiku menjadi tidak menentu, bukan karena amanah yang kupikul. Tidak sepantasnya aku mengambinghitamkan amanah sebagai awan hitam pekat yang menyelubungi hatiku yang ingin kebebasan, sehingga saat awan tersebut menurunkan sebuah badai cobaan, hatiku menjadi lemah dan tak mampu menerjangnya, seakan-akan tak ingat kepada janji Illahi Robbi, bahwa Dia tidak akan menurunkan ‘badai’ yang tak mampu kita ‘terjang’. Namun pilihan sikap kitalah yang menentukan suasana hati kita, apakah memilih untuk tetap tegar kokoh meskipun badai semakin menantang, atau lebih memilih menyerah terhempas padahal sedetik lagi badai itu akan berhenti.

Pada saat tulisan ini dibuat, aku bersama kawan-kawan seperjuangan lainnya sedang berusaha untuk menyelenggarakan sebuah acara yang bila diukur dengan segi logika sebenarnya tidak terlalu sulit untuk mewujudkannya, jika dibandingkan dengan menyelenggarakan acara Bulan Bahasa dulu. Namun, entah kenapa yang sekarang seakan-akan jauh lebih sulit ketimbang itu. Memang, pada waktu dulu, aku lebih banyak bekerja sendiri, dan sekarang ku mencoba untuk benar-benar mengimplementasikan apa yang orang-orang pintar sebut teamwork. Ternyata memang sulit, hehe. Mengoordinir orang lain yang mempunyai pikiran, kesibukan, dan keinginan yang berbeda-beda memang tidak mudah. Terlebih lagi, aku tidak mempunyai apa yang disebut sebagai ‘bakat kepemimpinan’. Namun, kuingin melawan ‘diriku yang lemah’, yang hanya bisa beralasan seperti itu, sebenarnya itu semua bukan alasan, namun hanyalah alibi untuk melarikan diri dari masalah. ‘Diriku yang lain’ berusaha untuk melawan dan melawan, namun tak jarang lumpuh tak berdaya menghadapi alibi-alibi yang dilontarkan dengan sangat cerdik oleh ‘diriku yang lemah’, cerdik sekali, seakan-akan api semangatku ditiup-tiupnya hingga hampir mati dan tak berkobar lagi.


Saat ini aku mencoba menyadarkan diri, bahwa ‘diriku yang lemah’ itu hanyalah hawa nafsuku yang dibujuki syaithan, syaithan yang menginginkan kehancuranku dan menggiringku menjadi sahabatnya. ‘Diriku yang lain’-lah diriku yang sebenarnya. Karena, manusia itu cenderung hanif (condong kepada kebaikan). Seorang maling, misalnya, jarang sekali melakukan kejahatan karena memang dia hobi melakukannya, namun karena didesak kebutuhan yang tidak bisa ditunda-tunda lagi, sedangkan menurutnya (setelah dibutakan oleh syaithan) tidak ada lagi cara yang bisa dilakukannya selain mencuri. Dengan kata lain, sebelum melakukan sesuatu, manusia seringkali merasakan konflik batin, antara dirinya yang hanif, dengan hawa nafsu yang dikendalikan oleh syaithan. Dan itu manusiawi. Yang tidak manusiawi adalah membiarkan hawa nafsu kita menguasai diri kita yang sebenarnya, karena kalau seperti itu, sama saja kita menghilangkan kemanusiaan kita dan menyerahkannya pada hawa nafsu kita, dan yang akan terjadi, kita tidak akan menjadi manusia yang memiliki akal sehat, yang menghalalkan segala cara, melarikan diri dari masalah, dan melakukan perbuatan yang tidak terpuji lainnya, bahkan bisa seakan-akan seperti binatang. Bahkan lebih buruk daripada itu.

Namun kusadari, menjadi diriku yang sebenarnya tidak mudah. Yah, sudah jadi rahasia umum, kalau menuju kebaikan memang penuh rintangan dan jalannya takkan mulus semulus jalan tol. Namun, bukan alasan untuk tidak berusaha mencobanya terus, sampai kita berhasil mendapatkan diri kita yang sebenarnya ^_^ Sewaktu bayi, apakah kita menyerah saja untuk belajar berjalan setelah mengalami sakitnya jatuh ratusan kali? Dan kita malah bermalas-malasan dan bicara ke orang tua kita, “Ummi, Abi, nanda nyelah ah belajal jalan, cucah, cakit jatuh melulu! Ngalondang aja cekalang mah.” ? Hehe... Apa bedanya waktu bayi dengan sekarang? Atau sebenarnya adik bayi-lah yang lebih tegar dan dewasa daripada orang-orang yang sudah tua yang sering mengeluh seperti kita? Jadi tidak ada alasan untuk menyerah dan berusaha kembali mendapatkan diri kita yang sebenarnya kembali dari jeratan diri kita yang lain yang terkekang hawa nafsu, hawa nafsu yang terkendali oleh syaithan yang merupakan musuh yang nyata bagi kita. Dan jika kita telah mengalahkannya, jangan lupa bersyukur kepada Allah, agar kita termasuk orang yang tahu terima kasih (bersyukur) kepada-Nya yang telah memberikan kita segala nikmat yang tak mungkin kita hitung. Lalu, silakan menikmati buah kemenangan, dan lepaskan belenggu kesusahan dari hati kita yang rindu cerahnya langit biru. ^_^

Semoga tulisan ini memberikan manfaat, khususnya bagiku yang sedang tidak semangat ^^a umumnya bagi semua pembaca :) syukron jazakumullah udah nyempetin baca tulisanku yang masih acak-acakan ini... Mari saling berbagi ilmu...

Selesai dibikin jam 08.53 WIJ di Pondok Muliya, Ciseke, Jatinangor, 09.04.10.


No comments:

Post a Comment