“sem.pur.na a 1 utuh dan lengkap segalanya (tidak bercacat dan bercela) 2 lengkap; komplet 3 selesai dengan sebaik-baiknya; teratur dengan sangat baiknya 4 baik sekali; terbaik” (Depdiknas, 2008: 1265)
Seringkali
kita pikir bahwa di dunia ini tidak ada manusia yang sempurna. Oh ya? Ciyus?
Miapah? (alay... zzz...) Parameter ‘sempurna’ seperti apa yang
kita gunakan, itu akan memberikan penilaian sendiri terhadap apa-apa saja yang
ada di dunia ini. Entah seperti apa, ya itu mah terserahmu saja.
Tapi,
sekali lagi, saya ingin membagikan analogi favorit saya tentang apa itu kesempurnaan
(terlepas dari hal yang ‘Maha Sempurna’, Dia mah tidak bisa dibandingkan
dengan apa-apa yang menjadi ‘hamba-Nya’).
People
is just like a coin. Manusia itu cuma seperti sekeping koin.
Masing-masingnya mempunyai sisi yang berbeda. Muka pertama angklung, muka
dibaliknya ternyata garuda. Di depan melati, eh dibaliknya garuda juga (hehe).
Namun, jika salah satu sisi-nya hilang, apakah nilai dari koin itu akan tetap
sama seperti semula? Gak tau juga, sih, kalau dalam kenyataan, tapi
kalau menurut saya mah gak bakal bernilai lagi, karea salah satu sisinya
yang merupakan kelengkapannya hilang. Yasudah.
Sama
seperti manusia, dia selalu mempunyai dua sisi. Positif dan negatif. Bahkan
jika tidak bisa baca-tulis itu kamu anggap sebagai hal yang negatif,
Rasulullaah pun demikian. Namun, hal-hal itulah yang membuat seorang manusia
menemukan kesempurnaannya. Mempunyai dua sisi, sehingga kita bisa saling
melengkapi dan menasehati. Saat manusia mempunyai 100 kelebihan dengan nihilnya
kekurangan, dunia tentu takkan seimbang, karena setiap manusia akan hidup
untuknya sendiri, tidak membutuhkan keberadaan orang lain untuk melengkapi hidupnya yang penuh superioritas.
Begitu juga sebaliknya. Sedih banget, merana...
Menurut
saya, itulah. Saat salah satunya hilang, kita tidak akan menjadi manusia lagi. Karena
manusia itu mempunyai hati yang sangat mudah bolak-balik-nya. Kadang malaikat,
kadang iblis, kadang Lucifier (haha). Manusia pun punya potensi yang
tidak bisa diseragamkan; unik, penuh intrik, tapi menarik. Misalnya, saat kamu
bisa muterin kepala 180 derajat, saya bisa muterinnya 360 derajat
(alias 0 derajat, haha). Sisi-sisi itu patut kita syukuri dan manfaatkan sebaik
mungkin, dengan mengasah itu semua agar hal-hal tersebut selalu tetap
proporsional. Dan takkan ada yang namanya gradasi tanpa ada heterogenitas
warna, seperti takkan adanya pelangi tanpa adanya 7 warna. Ya.
Dan
begitulah, dengan kedua sisi yang kumiliki, aku tidak lebih baik darimu. Dan
kamu juga tidak lebih baik daripadaku. Siapa yang tahu, coba? Kalau kita punya iman, ya kita akan
mengimani, hanya Dia saja yang tahu siapa yang lebih baik di antara sekian
banyaknya manusia yang masih ataupun sudah tidak hidup lagi di dunia. Jadi,
berhentilah statis. Hidup ini tidak akan seru jika kita selalu merasa cukup
dengan apa yang kita punya. Berbeda merasa cukup dengan menyederhanakan diri.
Kesempurnaan kita akan selalu dinamis atau statis, tergantung dari cara kita
menjalani dan menyikapi hidup yang banyak garisnya ini.
Ya, aku
tak lebih baik darimu, jadi jangan lihat saya dengan parameter sempurnamu yang
dibutakan oleh utopiamu saja. Kamu juga sama. Deal? J Dengan begitu, kekecewaan kita terhadap sesama akan
sedikitnya terkurangi dengan sendirinya.
“Ya,
keharmonisan, kecocokkan, kepaduan, itu...
takkan terjadi tanpa adanya kelebihan dan kekurangan.”
takkan terjadi tanpa adanya kelebihan dan kekurangan.”