Tuesday, August 21, 2012

Mudik, Imunisasi, Menang?


Allaahu akbar, Allaahu akbar, Allaahu akbar...
Laa ilaaha illallaah, wallaahu akbar...Allahu akbar walillaahil hamd...


Sayup-sayup terdengar lantunan penuh kemegahan dari surau sebelah rumah nenekku. Ya, saya sedang melakukan hal yang sedang trend di TV-TV saat ini; mudik, menambah kemacetan jalan raya, demi bertemu sanak saudara dan handai taulan di daerah lain, di tempat yang menjadi markas anggota keluarga salah satu orangtuaku. Karena beliau 10 bersaudara, insyaAllah rame banget. Ya, saya sedang menderita. Saya tidak bilang saya tidak suka mudik, atau saya gak suka ngumpul-ngumpul bareng keluarga. Penderitaan ini muncul ketika saya menyadari bahwa 1 bulan ke belakang itu terasa amat sangat sekejap. Bahkan mungkin kalau ingin beranalogi agak berlebihan, bagaikan sebelum mata selesai berkedip, tiba-tiba semuanya berakhir.  Ramadhan oh Ramadhan... Tak terlalu acuh ku pada jamuanmu di tahun ini, menyebabkanku terjerembab pada kubangan kelalaian. Ya, menderita karena penyesalan memang tak ada gunanya. Baru ada gunanya jika itu semua dijadikan sebagai pelajaran berharga yang bebobot 48 SKS untuk satu tahun ke depan. Pelajaran yang wujud IPK-nya adalah pribadi dalam kurun waktu 11 bulan ke depan (siapa berani dapatkan IPK tertinggi?). Ya, saya sedang mudik dan saya sedang menderita. Namun bisakah penderitaan ini kureguk dengan penuh dahaga? Mungkin bisa, soalnya Garut sedang panas-panasnya, HEHE.

Sesampainya di Garut, saya tidak langsung minum, karena saya masih melaksanakan shaum, dan waktu masih menunjukkan pukul 15.05, ashar belum menjelma. Setelah bertutur sapa sejenak dengan keluarga di sana, cuci muka, selonjoran di keramik yang dingin, dan berbincang dengan pamanku yang dokter itu, saya jalan-jalan sebentar ke suatu tempat yang cukup berkesan bagi hantu yang bersemayam di ujung pikirku; Masjid Al Husen, masjid depan alun-alun Limbangan Garut. Waktu itu saya sudah melakukan jama’ taqdim di mushola SPBU daerah Cicalengka itu, jadi saya tidak shalat ashar lagi. Di sana saya kembali melakukan ‘ritual pelampiasan kegalauan’, karena menurutku memang Masjid-lah tempat penyerahan segala bentuk kegalauan hidup kepada Sang Maha Pencipta Masalah dan Solusi Kehidupan. Kucurahkan segala galauku, galau tentang keluarga, rezeki, jodoh (*eh), umur, dan masalah-masalah yang (seakan-akan) saya yang buat sendiri. Ya, 2 jam lumayan mengobati semuanya. Alhamdulillah. Di sana juga saya melihat-lihat jalanan raya, di mana banyak sekali manusia yang sedang berpetualang menuju tujuannya masing-masing dengan luar biasa semangatnya. Teriknya Matahari di Limbangan sepertinya tidak masalah bagi mereka. Semoga mereka (dan aku) pun kuat bertahan dalam teriknya Matahari di Mahsyar kelak. “Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwaa fa`fu’anni” barisan kata itu terus mengalir penuh harap.

Ya, saya tidak mengakhiri shaumku di masjid itu. Saya masih ingat rumah nenek. Saya pun pulang jam setengah enam. Lewat jalan raya, beda jalurnya dengan pas berangkat tadi. Di jalan raya, semakin jelaslah semangat mudik. Keluarga memang tempat kembali yang terbaik di dunia ini. Tak heran apapun rintangannya, semua orang sangat bersemangat, sangat menggebu-gebu. Para polisi pun gak kalah bersemangat, meskipun mereka harus merelakan kesempatan mereka untuk kembali ke keluarganya masing-masing,  mereka tetap berjuang menjadi sahabat pemudik yang baik (semoga bukan hanya tuntutan peran, sehingga si ikhlas bisa lebih leluasa).

Selepas berbuka dan shalat maghrib, kegiatan tik-mengetik ini sempat tertunda oleh diskusi sejenak dengan pamanku yang dokter tadi (masih ingat, kan?), ibu, kakek, dan mahasiswa FIB awam dan polos tentang dunia kedokteran. Kami membicarakan tentang gerakan “Anti-Imunisasi” yang digencarkan oleh beberapa aktivis Islam di Jogja beberapa waktu silam, dengan pembicara utama pamanku dokter. Beliau memaparkan pendapatnya mengenai itu semua dari sisi spesialisasi beliau, seorang dokter, dan tentu saja seorang muslim. Katanya, ada indikasi bahwa kebencian kaum muslim terhadap Amerika merupakan senjata utama untuk menggiring paradigma kaum muslim Indonesia untuk mengikuti apa yang ‘kepentingan tertentu’ inginkan. Semacam ghazwul fikr lah. Katanya imunisasi itu dari Amerika dan ada data yang mengatakan bahwa ini merupakan agenda Amerika untuk menghancurkan umat Muslim. Padahal (katanya juga), orang Amerika sama Israel juga diimunisasi. Dan katanya juga, imunisasi adalah penemuan terhebat dalam dunia kedokteran, karena dengan vaksin, kita bisa mencegah penyakit. Katanya, ada kekhawatiran jika memang hal ini benar, kita seperti kembali ke zaman Snouck Hurgronje dulu di Aceh. Katanya, madu itu tidak cocok buat bayi yang baru lahir, baru cocok untuk anak 1 tahun ke atas. Katanya habatussauda itu harus diteliti lagi oleh para ilmuwan Muslim agar data yang tertera bisa faktual dan ilmiah, tidak sebatas hadits Rasul yang tidak semua orang bisa menafsirkannya. Katanya, Kakak Sepupuku tidak mau mengimunisasi anaknya karena informasi yang ia dapat, meski pada kenyataannya diimunisasi juga, meskipun tidak kumplit. Katanya dan katanya, dan saya tidak bertanya. Memang semuanya perlu ditinjau dengan kacamata yang adil, melibatkan dua lensa; pro dan kontra, agar diskusi lebih sehat. Ya, itu adalah kuliah maghrib yang lumayan menambah wawasan. Ya, saya harus sadar bahwa saya harus lebih banyak baca. Meskipun kalau mau sombongin disiplin ilmu, saya kan anak Ilmu Budaya. Namun bukankah dokter termasuk produk peradaban?

Ya, selepas itu saya menyimak kuliah Isya kakek saya yang bercerita tentang keutamaan surat Al Fathihah. Surat yang sangat spesial, dan katanya punya 30 nama, salah satunya Ummul Qur`an, karena keutamaan kandungan yang dimilikinya. Katanya, Al Fathihah itu merupakan salah satu doa terdahsyat, karena di dalamnya terkandung pengharapan hamba dan kekuasaan Tuhan. Begitulah. Ya, saya bahagia, bertambah lagi ilmuku. Mudah-mudahan saya menemukan kebenaran dari ilmu-ilmu yang kudapatkan, dan yang paling penting: teramalkan.

Saya juga mulai didukung sama sodara-sodaraku, paman-ateuku, terkait statusku yang mahasiswa menjelang tingkat akhir dan masih aktif berorganisasi. Tinggal masalah jodoh nih, harus galang dukungan juga (*eh). Ada adik sepupuku juga datang, dia lolos Unibraw jurusan Broadcasting & Home Production apalah gitu. Eh, Ibunya tidak setuju. Jadinya dia mau coba lagi FK Unpad. Dan saya pun mendukungnya, mendukung apapun yang dia pilih. Semoga maslahat. Tidak seperti aku yang (pada awalnya memang) asal pilih, meskipun pada akhirnya saya gak nyesel, HEHEHE.

Dan sayup takbir kembali kudengar, di dalam sebuah kamar berukuran sekitar 3 x 4 m, saya sedang duduk bersila di atas ranjang yang di atasnya masih ada ranjang lagi. Ranjangnya ada dua, bertingkat, saya jadi ingat zamanku masih kecil, masa saat saya tidak berani naik ke ranjang lantai dua karena takut debu. Sayup takbir kembali kudengar, sayupnya semakin kuat, semakin khidmat (arti khidmat apa ya?). Orang-orang berduyun-duyun menjemput ‘kemenangan’, sementara aku kembali menderita saat hantu di sudut pikirku berbisik, ‘kemenangan macam apa yang kau maksud?’.

Allaahu akbar, walillaahil hamd...
Laa ilaaha illa anta, subhaanaka, inni kuntum minadzhdzhaalimiin...
(tuh di luar lagi ngomongin kujang sama prabu siliwangi... tidur ah...)

Limbangan,
1 Syawal 1433 H/Isya 19 Agustus 2012
21:33 WIB
Muhammad Dzikri

No comments:

Post a Comment