Sunday, August 26, 2012

Perpisahan yang Terbungkus Kemenangan

Bismillaah.

Pagi ini kumulai hari lebih pagi dari biasanya. Pada saat saya biasa berkemul dalam selimut dan sarungku, pagi ini berbeda. Saya pun tak tahu mengapa hari ini bisa begitu berbeda. Hari ini ternyata hari terakhirku berada di sini, di rumah orang tuaku. Besok, ku harus kembali ke tempat yang seharusnya ku pijak; planet realitas. Sebuah tempat orang-orang berkecamuk dengan asa dan cita, atau bahkan hanya untuk memenuhi hasrat hedonisme semata.

Berpagi-pagi memang fantastik. Kita bisa menemukan waktu untuk 'menggalaukan segala asa' kepada yang Maha Menciptakan Asa. Ada juga waktu kita berbincang-bincang dengan orang-orang terdekat kita yang ternyata mungkin mereka setiap hari bangun lebih pagi dari kita, mempersiapkan segala kebutuhan kita disamping kebutuhan pribadinya. Tahukah?? Ku ragu selama ini ku tahu. Dan kuragu selama ini ku syukur. Ku tak tahu apa saja yang mereka perbuat sepagi itu, mungkin lebih dari sekedar mempersiapkan makan. Ku tak tahu doa-doa yang sering mereka panjatkan bagi anak-anaknya. Setiap hari. Setiap waktu yang ku tak kuasa menembusnya.

Berpagi-pagi itu ternyata rasanya magis. Hawa kesegaran terasa mengaliri aliran darah. Dinginnya membuat diri terjaga. Segarnya oksigen gratisan tapi tidak murahan, membuat kita kembali hidup setelah mati semalam. Deras air wudhu mengembun di muka, menancapkan paku-paku kesadaran dan cahaya. Dan itu semua dapat membuat seseorang menjadi lebih tangkas menjalani hidup beratus ribu detik ke depan, hingga pada akhirnya jiwa itu mendengkur kembali. Itu bisa didapatkan, hanya bagi orang-orang yang memilih terjaga dalam paginya. Begitu magisnya suasana pagi, sehingga begitu banyaknya keutamaan tak mampu menggairahkan orang-orang yang terjebak dalam selimutnya, hingga malaikat shubuh pun hilang. Mungkin mereka takut. Takut akan mistisnya udara pagi yang dingin, yang akan merenggut dan memutilasi utopia mereka dalam dunia kasur dan selimut.

Pagi ini, ada sepucuk surat kekecewaan yang mampir.

Pagi ini......

Kusempat terhenti menulis.

Nyambungkah prolog saya dengan judul? Hehe, gak kohesif yah. Baiklah, akan saya ceritakan (kembali) apa yang telah saya dengar dari rekaman kajian dulu banget sama Ustadz Salim Akhukum Fillah. Begitu hebatnya dunia zaman sekarang, bisa merekam sesuatu yang telah dilakukan. Baik itu lisan maupun perbuatan. Namun menurut saya, yang belum bisa teknologi ciptakan adalah perekam hati. Hati yang paling dalam, sehingga nurani yang senantiasa membisikkan kebaikan itu bisa terdengar luas. Saya masih tidak tahu apakah yang suka saya atau kamu tulis di jejaring sosial itu adalah ungkapan hatimu yang paling dalam? Atau buku-buku gubahan para pujangga, sastrawan, jurnalis, bahkan tulisan kacangan di blog ini, itukah ungkapan hati? Saya tidak tahu. Namun apalah artinya mempermasalahkan itu. Karena hati hanya bisa dijangkau dengan hati lain. #eeaaaa

Kisahnya tentang Rasulullaah shalallaahu'alayhi wa sallam dan para sahabatnya. Pada saat menjelang Fathul Makkah. Tahukah kau tentang Fathul Makkah?

Nostalgia sejenak. Bagaimana Rasulullaah sungguh jauh dari luar biasa memperjuangkan diin ini. Dicaci, dimaki, diludahi, dilempari kotoran, direncanakan untuk dibunuh, diburu, diperangi, dan lain sebagainya. Namun apa yang Rasulullah lakukan?

Selama perlakuan buruk itu bersifat personal hanya kepada Rasulullah, beliau malah melakukan hal yang mungkin menurut kita tidak logis untuk dilakukan seseorang yang sudah dicederai. Beliau menjenguk orang sakit yang rutin meludahinya setiap kali beliau ke Masjid. Beliau menyuapi orang buta yang selalu menghinanya. Implikasinya? Subhanallah, mereka masuk Islam setelah datang cahaya hidayah melalui ultimate-akhlaq yang dimiliki Rasulullah. Bahkan Abu Bakar Radhiyallaahu 'anhu pada paska  wafatnya Rasulullah pun tidak bisa menyamai keutamaan beliau dalam menyuapi.

Namun jika perlakuan buruk itu melukai diin Islam... Beliau pun berperan sebagai komandan perang terhebat sepanjang masa. Dan itu semua bukanlah kekerasan. Itu adalah sebuah bukti, bahwa kehormatan memang selayaknya dijaga, dengan harta dan jiwa. Dan kehormatan terinti dari seorang hamba adalah agamanya.

Kebayang jika zaman sekarang kita punya pemimpin macam Rasulullaah shalallaahu 'alayhi wa sallam... Mungkin kita akan merasa, tiada lagi yang mampu menggantikannya. Kita ingin selalu ada bersamanya. Saking cintanya kita kepadanya. Sunnahnya akan selalu kita jaga. Saking cintanya kita kepadanya.

Mungkin itu jua lah yang para sahabat Rasulullah rasakan. Pada waktu Fathul Makkah. Pada tahu Fathul Makkah, kan?

Pada momentum itu, seluruh visi berhimpun dari pemahaman yang sama. Segenap asa dicurahkan. Harapan kemenangan di depan mata. Semuanya tanpa pertumpahan apa-apa selain pertumpahan manusia berbondong-bondong memasuki diin Islam. Ka'bah pun merdeka dari berhala-berhala yang mengelilinginya. Mereka bertakbir, bertasbih, dan beristighfar, taubat kepada Allah, yang telah memenuhi janji kemenangan, dan tentu, akan selalu memenuhi janji-janji-Nya. (Inspirasi Surat An-Nashr, yang juga turun pada kronologi yang sama)


Pada saat itu... (balik lagi, kali ini saya bener-bener rerun rekaman mas ustadz)

Kesadaran untuk menggali pemahaman, bahkan saat mereka kemudian tidak sanggup untuk memahami.
Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallaahu'anhu menjadi pembela Rasulullaah ketika kontroversi Perjanjian Hudaybiyah.
Bismillaahirrahmaanirrahim dihapus menjadi bismika allahumma.
Muhammad Rasulullah diganti dengan Muhammad bin Abdillah.
"Apa ini kita memberikan kehinaan bagi agama kita!? Allah adalah Ar-Rahman! Allah adalah Ar-Rahim!"
"Tidak disebut pun, Allah itu Ar-Rahman, Allah itu Ar-Rahim. Dan kita tidak rugi sedikit pun. Dan Allah tak berkurang sedikit pun kemuliaan-Nya hanya karena tidak disebut dalam di perjanjian kita. Karena nama-Nya tetap agung. Hanya dengan nama-Mu yaa Allah."
Muhammad bin Abdillah pun demikian. Itu kehinaan. Kehinaan lebih-lebih adalah, pertama mereka pada tahun itu gagal berangkat masuk ke Masjidil Haram untuk menunaikan Umrah.
Abu Bakar pun menenangkan, "Memangnya Rasulullah menjanjikan itu tahun ini? Bukankah tahun depan kita akan masuk dengan aman? Bukankah Allah telah berfirman: 'Allah mengetahui apa yang tidak mereka ketahui, dan Allah menjanjikan kemenangan yang jauh lebih dekat lagi.' (Al Fath 27) Tahun depan! Kita akan memasuki Masjidil Haram dengan keagungan, dan saat itulah kemudian mereka akan tahu betapa kaum Muslimin ini adalah yang ada di atas kebenaran. Tahun depan! Mereka akan menyaksikan betapa Quraisy menyerahkan permata hatinya; Khalid bin Walid,  Utsman bin Thalhah, Amr bin Al Habsyi."
Abu Bakar adalah orang yang paling paham, dan mencoba memahamkan yang lain.
"Kenapa kita bergencatan senjata 10 tahun lamanya dengan mereka?"
"Kita lihat, siapa yang lebih tidak tahan dalam melanggar perjanjian."
Dan ternyata benar apa yang dikatakan Abu Bakar.
"Kenapa kalau ada saudara kita yang berhijrah ke Madinah, padahal dia dengan keislamannya datang menjauhkan diri dari kemusyrikan, dari penindasan mereka, lalu mereka harus dikembalikan ke Makkah??"
"Bukankah Allah memang memberikan kita sebuah kemudahan, dengan adanya kaum Muslimin di tengah-tengah masyarakat Makkah, untuk memberikan kabar bagi kita apa-apa yang terjadi kepada mereka. Ada mata-mata di Makkah."
"Kenapa kemudian kalau ada penduduk Madinah yang murtad kemudian kembali ke Makkah, kenapa tidak wajib dikembalikan?"
"Apa risaunya terhadap orang yang murtad? Biarlah mereka kembali kepada kekafirannya. Dan biarlah mereka kemudian diselesaikan ketika kekafiran dihapuskan oleh Allah di muka bumi."
Semuanya Abu Bakar pahami, dan kepahaman yang paling agung yang ada pada diri Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah bagaimana dia menyelamatkan umat ketika terjadi keterguncangan yang sangat hebat.
Ketika Rasulullah membacakan An-Nashr,
1. Ketika datang pertolongan Allah dan kemenangan,
2. Dan kamu lihat manusia berbondong-bondong memasuki agama Allah
3. Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohon ampunlah kepada-Nya
4. Sesungguhnya Tuhanmu maha penerima taubat
Semua bertakbir! Allaahu Akbar! Kita diberikan kemenangan!
Hanya saja di pojok sana, Abu Bakar menangis tersedu-sedu, dan dengan sendu beliau mengatakan,
"Yaa Rasulallaah, ayah dan ibuku menjadi penebus bagimu... Yaa Rasulallaah, tidak jangan tinggalkan kami, yaa Rasulallaah...."
"Hei... Ada apa orang tua ini?? Ini kabar gembira, kabar kemenangan. Tapi dia menangis?"
Rasulullah bersabda: "Ada seorang hamba yang diberikan pilihan oleh Allah subhanahu wata'ala, apakah dia ingin kenabian dan kerajaan, ataukah kemudian dia ingin bertemu dengan Rafiqul A'laa, Kekasih yang Maha Tinggi, maka ia memilih Ar-Rafiqul A'laa..."
Maka semakin keras tangisan Abu Bakar Ash-Shiddiq.
Orang-orang lain memahami surat An-Nashr sebagai kabar gembira, namun Abu Bakar memahaminya sebagai tanda perpisahan.
Jika kemudian pertolongan Allah sudah datang, kalau manusia berbondong-bondong masuk agama Islam, maka tugas Rasul selesai. Dan ketika tugasnya selesai dia akan pergi. Dan itu diperkuat dengan kata-katanya, dia memilih Ar-Rafiqul A'la, dia memilih untuk kembali kepada Tuhannya yang Maha Tinggi.
Dan ketika jazirah terguncang dengan wafatnya Rasulullah, Abu Bakar adalah orang yang paling tegar,
"Alangkah harumnya ketika engkau hidup, alangkah harum pula ketika engkau mati." Diciumnya Rasulullah, dan dikatakan,
"Aku bersaksi tiada ilah selain Allah dan Muhammad adalah utusannya. Kalau ini memanglah ajal bagimu tidak mungkin Allah mengumpulkan dua kematian bagimu. Engkau memang telah meninggalkan kami. Maka terima kasih dari kami kepadamu atas hidayah yang engkau bawakan dan bimbingan yang kau berikan."
Abu Bakar pun keluar, menenangkan Umar bin Khaththab dan umat Islam yang masih terguncang,
Ayyuhannaas, man 'abada Muhammadan, faqat maatan Muhammad.
Wahai manusia, barang siapa menyembah Muhammad, maka Muhammad telah mati.
Tapi barangsiapa menyembah Allah subhanahu wata'ala, Allah Maha Hidup.
"Dan Muhammad hanyalah seorang Rasul; sebelumnya telah berlalu beberapa Rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh, kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barang siapa berbalik ke belakang, maka ia tidak akan merugikan Allah sedikit pun. Allah akan memberi balasan kepada orang yang bersyukur." (Ali Imran 144)
Seketika... tangisan umat yang mencintai kekasihnya pun tak terbendung lagi...
Getaran jemari saya tak tertahankan. Selain pegal karena cukup panjang, ada getaran lain yang membuat syaraf  'ngeh'...

'Ngeh' ternyata,
pemahaman itu penting.

Untuk mendapatkan suatu pesan dari sebuah peristiwa, pemahaman diperlukan. Sehingga kita bisa menangkap pesan lebih, karena kita membutuhkannya.

Membutuhkannya, untuk tidak cepat senang ataupun sebaliknya.
Membutuhkannya, untuk memahamkan orang lain.
Membutuhkannya, untuk memahami orang lain.
Membutuhkannya, untuk diri sendiri.

Bagaimana dapetin pemahaman? Tidak ada cara lain selain belajar dan berdoa. Belajar, sebagai ikhtiyar kita,  dari setiap garis kehidupan yang kita arungi, karena kita punya 'kehendak bagian' untuk menentukan apa yang kita inginkan, untuk mengejar takdir terbaik kita. Berdoa, karena kita tak kan pernah lepas dari-Nya. Wakafaabillaahi wakiila, hasbunallaah ma ni'mal wakiil.

'Ngeh yang kedua...
Rasulullah, kekasih kita semua...
Abu Bakar, sang pembenar kebenaran...
Mereka adalah role model sahabat sejati.
Mari i'tibar-i perjuangan mereka dan sahabat-sahabat lain, yuk.
Ada hikmah yang jauh dari luar biasa... di setiap skenario kehidupan mereka *tears

Karena semuanya memiliki multi-sisi, sederhananya, dua sisi; positif dan negatif.
Pastikan mata, hati, dan tangan kita dapat melihat keduanya, dengan 'paham'nya.

Jangan sampai kita terlena dengan euforia kemenangan, karena mungkin kita sudah berpisah dengan sesuatu yang penting bagi kita. Begitu pula sebaliknya.

Al haqqu mirrabbik.


Oh ya, btw, menurut Sirah Nabawiyah gubahan Mustafa Sibaie, Fathul Makkah itu terjadi pada Ramadhan tahun 8 Hijriyah.

Sumber:

  • Mushaf Al Quran
  • Taujih Salim A. Fillah 26 November 2011
  • Sibaie, Mustafa. Ebook Sirah Nabawiyah. http//www.dakwah.info
  • Inspirasi pagi hari

No comments:

Post a Comment