Friday, January 18, 2013

Terima Kasihku Kepada Orang yang Telah Berani Menghadapi Ketakutan Terbesar Manusia

Bismillaah...

Sudah beberapa kali saya mengalami hal itu, kehilangan seseorang yang penting dalam hidup (menurut saya). Dan perasaan yang timbul relatif senada. Paling ingat, saat Kakek saya, Aki Musthafa rahimahullaah berpulang. Itu pengalaman 'kehilangan' saya yang pertama saat saya sudah bisa sedikitnya mengerti apa itu kematian. Berbeda halnya saat si Ongkiw (kucing yang suka mampir ke rumah) 'meninggal' juga karena terlindas truk. Perasaanku saat itu biasa saja (maklum, 4 tahun). Saat itu, bulan Syawwal. Satu atau dua hari setelah hari raya. Perasaan bercampur aduk, bingung, sedih, aneh sekali rasanya (waktu itu saya berumur 6 tahun kalau tidak salah). Beliau sungguh merupakan orang yang luar biasa, bagi saya yang baru mengerti enaknya didongengi, enaknya disuapi mie rebus, enaknya mendapat pengasuhan yang tanpa pamrih; penuh kasih sayang. Mungkin saya sudah lupa apa saja yang pernah engkau tanamkan pada diri ini, tapi sungguh, diriku yang sekarang adalah akumulasi dari benih-benih kebaikan yang tertanam melalui banyak orang, salah satunya adalah dari dirimu.

Beliau tidak dirawat di RS, beliau dengan tenang berada di kamar legendarisnya, hingga izrail menjemput. Saya masih sempat cium tangan sebelum akhirnya beliau berpindah dimensi (itu juga karena disuruh ibu). Ah, memori yang luar biasa. Pertama kalinya saya merasakan atmosfer duka sedalam itu.

Selanjutnya nyusul orang-orang seperti Wa Dedi, Eni Onah, yang terdekat Wa Cucu... berbagai perasaan yang sebenarnya relatif sama muncul. Saat berkunjung ke RS Dharmais, menjenguk wa Dedi yang sakit kanker... Ikut menjemput Eni dan Uwa ke RSUD Cianjur, mengikuti iring-iringan ambulans. Pengalaman talkin pertama kalinya untuk uwa di ruang ICU. Momen-momen itu merupakan momen yang memang membuat hati tergetar. Dzikrul Mawt (inget mati) mulai terbersit optimal dalam benak. Sampai pada akhirnya, saya ikut sholat jenazah dan nganter ke pemakaman yang epic banget, TPU Landbouw, Cipanas, Cianjur. Letaknya persis di samping Taman Makam Pahlawan Cipanas. Maka dari itu, jalan yang memungkinkan akses kami menuju ke sana dinamakan Jalan Pahlawan (baru ngeh).

Yang paling berkesan adalah saat di TKP. Sebelum menguburkan mayit, saya mendengarkan (sebut saja) khotbah kematian yang sama dari orang yang sama pula. Beliau adalah Ust Ade Syatibi. Namun sialnya saya tidak mengi'tibari-nya dengan baik, hingga hari ini. Kira-kira pesanya seperti ini:


"kematian itu bukanlah sebuah hal yang luar biasa... karena kematian itu keniscayaan... sama halnya seperti rezeki... atau kelahiran... kita semua akan mendapatkan dia hadir..."

Dahsyat sekali... namun sayang, sering sekali terlupakan, karena sibuknya bergumul dengan urusan keduniaan (yang mudah2an diniatkan ibadah juga), bahkan sibuk dengan ma'siyat yang disengaja maupun tidak.. oh man... haruskah ada orang terdekat yang meninggal dulu baru kembali teringat dahsyatya efek mengingat kematian?? Saya rasa TIDAK, meskipun pada kenyataannya sering ingkar atas pernyataan rasa itu.

Dan baru-baru ini, dapat kabar duka lagi... Saat UAS kemarin, ayahnya kawan sekelasku (Sri/Ceuceu), meninggal dunia, dan saya tidak sempat ta'ziyah ke sana. Beberapa bulan sebelumnya, ayah dari dua teman SMA (Pitri dan Herdina) pun meninggal... Dan beberapa jam sebelum tulisan ini mulai ada, salah satu kawan baik saya, Bilqisti Qiyamul Haq, pun menemui takdirnya. Belum lagi bencana alam yang memenuhi ruang pemberitaan di mana-mana. Di Jakarta, Banten, bahkan Cianjur... Subhanallaah... 

Wahai diri, lihatlah mereka yang telah mendahuluimu. Sungguh, mereka telah menghadapi suatu hal yang sangat ditakutkan sebagian besar manusia. 

Dan kau masih ingkar pada dirimu sendiri? Sejauh mana engkau mengingat dan mempersiapkan kematian terindahmu?

Haruskah ada yang tiada dulu baru engkau menemukan kembali rasa yang hilang itu?
Kalau ya, seharusnya engkau berterima kasih kepada mereka. Dan sungguh kau telah berhutang besar pada orang-orang yang telah mendahuluimu itu. Ilmu itu mahal. Sadar itu mahal, sangat.

Masih adakah hutang yang belum terbayarkan? Masih adakah kebohongan atau hal yang harus diakui kepada orang lain? Masih adakah hal-hal yang sangat mungkin menghalangimu untuk menjemput ampunan Tuhanmu? Hal muamalah, hal yang berkaitan dengan manusia.

Sungguh, Tuhanmu maha luas samudera ampunannya, 
tinggal, apakah kamu mau berusaha menyelaminya?

Pelajaran yang sangat berharga... terima kasih Bilqi, ayahnya Ceuceu, ayah Pitri, ayah Dina, Wa Cucu, Eni, Wa Dedi, Aki Mus, dan semuanya yang telah mendahuluiku... sungguh, pelajaran ini sangat mahal! Seharga nyawamu semua...

Semoga Allah subhanahu wata'ala, yang Rahman, yang Rahim,,,
berkenan memberikan rahmat-Nya yang luar biasa 
dalam kuburmu semua,
dalam mahsyar-Nya nanti,
dalam hisab-Nya nanti,
dalam jembatan shiraat-Nya nanti,
hingga kita, insyaAllah,
reuni di tempat terbaik yang telah dipersiapkan,
atas rahmat-Nya, atas Kasih Sayang-Nya...

insyaAllah, kami pun (pasti) menyusul...
Semoga, kita tidak termasuk orang yang sering menunda,
dalam merangkum pelajaran berharga dari kematian orang-orang terdekat kita,
dalam titik nol kesadaran kita...

Ya, setiap jiwa yang hidup, pasti merasakan mati.

Tulisan ini didedikasikan untuk para pendahulu kami...
atas semangat, senyuman, nasehat, kenangan, dan pelajaran yang tak pernah padam,
hanya saja, kami(nya) saja yang sering (pura-pura) tidak melihatnya.

2 comments:

  1. Sifat alamiah manusia dz, kalao kata om covey butuh "sentakan yang menyadarkan". Mungkin dengan adanya tulisan ini, tidak perlu lagi, nice share dz. ;)

    ReplyDelete
  2. yap, manusiawi banget, ren, hehe... (:
    semoga hati kita selalu hidup, ren (:

    ReplyDelete